Dalam kurun sejarah manusia perang melawan penyakit tuberkulosis paru seperti tidak ada putus-putusnya. Ribuan tahun silam seperti ditunjukan oleh tulang-tulang peninggalan masa pra sejarah di Jerman (8000 SM), Tuberkulosis paru diketahui sudah menyerang penduduk pada zamannya. Dari fosil yang digali dari sisa-sisa peradapan Mesir kuno, juga terdapat bukti-bukti bahwa 2,500-1000 tahun SM penyakit ini sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat. Dari berbagai catatan dunia banyak raja-raja dan tokoh-tokoh terkenal seperti Raja Henry VII, Goethe, Rousseau, Chopin diketahui meninggal karena penyakit Tuberkulosis Paru (Chanda 2005). Di Indonesia situs berupa relief Candi Borobudur sudah mengenal adanya penyakit ini, mungkin saja ada beberapa raja Indonesia yang menderita Tuberkulosis Paru, namun belum terdapat catatan resmi tentang hal ini.
Perjalanan alamiah Tuberkulosis
Sebagian besar infeksi pada manusia menyebabkan infeksi laten yang asimptomatik, tetapi 1 dari 10 infeksi laten akhirnya akan berkembang menjadi penyakit Tuberkulosis. Tanpa pengobatan setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25% sebagai kasus kronis yang tetap menular (WHO, 1996)
Indonesia adalah peringkat IV beban TB di dunia
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat hingga kini, juga salah satu penyakit menular yang menjadi perhatian dunia. Sampai saat ini tidak ada satu negarapun di dunia yang telah bebas TB.
Angka kematian akibat TB di dunia mencapai 1,3 juta jiwa per tahun, 410.000 pada wanita dan 74.000 pada anak-anak. Sebanyak 1,1 juta Orang dengan HIV menderita TB atau 13%, dengan kematian sekitar 320.000 jiwa. Untuk kasus TB resistan obat dari 450.000 kasus, 170.000 meninggal akibat penyakit ini.
Termasuk di Indonesia penyakit Tuberkulosis masih menjadi ancaman bagi Indonesia. Bagaimana tidak, pada tahun 2014 ini Indonesia menduduki peringkat ke empat dengan beban terbesar Tuberkulosis di dunia, setelah India, Cina dan Afrika Selatan.
Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014, angka kejadian TB di Indonesia setiap tahunnya mencapai 730 ribu kasus. Sungguh angka yang pantastis di tambah dengan angka kematian akibat TB yang cukup tinggi, setiap tahunnya terdapat 67.000 kasus meninggal akibat TB, atau sekitar 186 orang tiap hari, atau 8 orang setiap jam meninggal dunia akibat penyakit TB. Dan angka kejadian TB di Indonesia ini menyumbang sekitar 5,8% kasus TB dari total jumlah kasus TB di dunia.
TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia (SKRT 2004). Selain itu pada usia 5 tahun ke atas, TB merupakan penyebab kematian nomor 4 di perkotaan setelah stroke, Diabetes dan hipertensi dan nomor 2 dipedesaan setelah stroke (Riskesdas 2007).
Menurut Prof. Tjandra Yoga, sedikitnya ada 3 faktor yang menyebabkan tingginya kasus TB di Indonesia. Waktu pengobatan TB yang relatif lama (6 8 bulan) menjadi penyebab penderita TB sulit sembuh karena pasien TB berhenti berobat (drop) setelah merasa sehat meski proses pengobatan belum selesai. Selain itu, masalah TB diperberat dengan adanya peningkatan infeksi HIV/AIDS yang berkembang cepat dan munculnya permasalahan TB-MDR (Multi Drugs Resistant=kebal terhadap bermacam obat). Masalah lain adalah adanya penderita TB laten, dimana penderita tidak sakit namun akibat daya tahan tubuh menurun, penyakit TB akan muncul.
Tingginya angka putus berobat dan rendahnya penemuan penderita TB, disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah akibat kemiskinan. Sebagian besar penderita TB pada umumnya miskin (75%), sehingga tidak mampu datang ke pelayanan kesehatan untuk berobat atau sekedar mengambil obat. Seringkali ditemukan, penderita TB datang sudah pada tahap berat, sehingga membutuhkan penanganan lebih serius bahkan tidak dapat tertolong. Permasalahan lain, umumnya pengetahuan penderita tentang TB masih sangat kurang, sehingga banyak penderita tidak melakukan pengobatan secara optimal, karena merasa sudah sembuh bila gejala sakit sudah tidak tampak. Padahal dibutuhkan bukti medis, untuk menyatakan kesembuhan penderita TBC.
Beberapa faktor dibawah ini turut berkontribusi meningkatkan kasus Tuberkulosis:
• Munculnya epidemi HIV
• Peningkatan migrasi penduduk
• Munculnya kasus TB-MDR (kebal OAT)
• Infrastruktur kesehatan dan terbatasnya alokasi sumber daya
• Masalah ekonomi sosial terutama terkait kemiskinan
Penyakit dan kemiskinan seperti viciouscycles
Masalah kesehatan masyarakat memang tidak dapat dipisahkan dari masalah kemiskinan. Setidaknya sekitar 1,3 milyar penduduk dunia adalah orang miskin. Hubungan penyakit dan kemiskinan dapat seperti viciouscycles. Karena miskin, orang jadi kurang gizi, tinggal di tempat yang tidak sehat, dan tidak dapat melakukan pemeliharaan kesehatan dengan baik, penurunan daya tahan tubuh sehingga rentan tertular dan sakit TB. Akibatnya, si miskin akan jatuh sakit. Karena sakit maka dia terpaksa berobat. Biaya pengobatan itu cukup mahal, akibatnya si miskin akan makin miskin lagi, sehingga berhenti berobat, makin parah demikian seterusnya. Begitu sebaliknya orang terkena TB akan mengurangi pendapatannya. Dan, penyakit TB pun mengakibatkan dampak ekonomi pada penderitanya. Salah satu dampak ialah, 75 persen pasien TB harus mengambil pinjaman atau berhutang untuk biaya pengobatan dan biaya sehari-hari. Beban penderita tuberkulosis menjadi semakin besar, akibat kehilangan pekerjaan, waktu dan kesempatan mencari nafkah.
Based True Story
Ini adalah pengalaman saya sebagai tenaga kesehatan, suatu hari ketika saya hendak pulang kerja, saya diminta oleh seorang ibu datang kerumahnya untuk menyuntikkan obat TB, karena anaknya menderita TB dan obatnya yang disuntik. Kebetulan hari itu hari minggu, jadi Puskemas tutup, biasanya anaknya disuntik ke Puskesmas. Karena saya hendak pulang bareng teman, saya pun mengajak teman ke rumah ibu tersebut. Saya bersama teman menuju rumah ibu tersebut. Saya cukup tahu kalau rumah dimana ibu tersebut tinggal lumayan padat dan kumuh, meskipun saya tidak sepenuhnya mengetahui sejauhmana keadaan rumahnya. Saya sendiri sebenarnya belum pernah datang ke rumah pasien untuk melakukan home care, berbeda dengan teman saya, dia sering melakukan home care entah untuk menyuntik yang penderita TB, ganti balutan, ataupuntindakan lainnya.
Saya bersama teman menuju rumah ibu tersebut cukup jauh juga terutama harus masuk gang sempit dan sungai kecil kecil yang kotor dan bau. Dan alangkah terkejutnya saya ketika sampai dirumah ibu tersebut, rumah yang sangat kecil, tanpa ventilasi juga kurang bersih. Bagaimana tidak kena TB anggota keluarga tersebut, rumah dihuni oleh ibu, suaminya, dan juga anaknya seorang laki-laki usia remaja yang menderita TB. Rumah yang hanya terdiri dari ruang tengah merangkap kamar dan dapur. Keadaan yang sangat memprihatinkan, anaknya yang menderita TB teraksa harus berhenti bekerja karena kena TB, sementara suami ibu yang hanya pekerja buruh harus menghidupi keluarga tersebut. Dan dilihat dari keadaan postur tubuhnya pun berat badan mereka bisa dikategorikan kurang. Saya dan teman menolak ketika ibu memberikan imbalan jasa melakukan suntik. Bagaimana saya dan teman tega menerima imbalan tersebut sementara keadaan keluarga tersebut sangat memprihatinkan. Saya dan teman pun memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu dan anaknya supaya pengobatan jangan sampai berhenti, tetap menjaga kebersihan dan makan makanan yang bergizi untuk mempercepat proses penyembuhan dan mencegah penularan. Supaya penderita TB tidak bertambah dalam keluarganya.
Penderita TB lebih banyak laki-laki dan usia produktif
Tuberkulosis memiliki dampak yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi: lebih dari 75% penyakit Tuberkulosis.
Dan yang lebih memprihatinkan adalah sebagian besar penderita TB di Indonesia mereka masih berusia produktif yaitu usia antara 15-55 tahun. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. Hal ini bisa dipahami karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru dimana kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Hal ini lah yang mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap perekonomian dalam keluarga. Dimana laki-laki adalah pencari nafkah utama dan yang bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarga. Terlebih menderita TB pada usia yang masih produktif.
Menurut WHO, seseorang yang menderita TB diperkirakan akan kehilangan pendapatan rumah tangganya sekitar 3-4 bulan. Dan berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Hal ini karena biaya penyembuhan TB yang memerlukan biaya yang cukup besar dan juga rentang waktu pengobatannya yang cukup lama yakni sekitar 6-8 bulan. Dalam masa penyembuhan inilah munculnya masalah ekonomi. Hal ini karena beban biaya pengobatan cukup panjang sehingga mengakibatkan pendapatan jadi berkurang karena tidak produktif, dan juga pengeluaran semakin bertambah karena harus mengeluarkan biaya pengobatan. Dan bila penderita TB meninggal, terlebih penderitanya adalah kepala keluarga, maka akan kehilangan pendapatan rumah tangganya sekitar 15 tahun. Ini merupakan beban besar buat penderita dan keluarganya. Tuberkulosis paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang dikucilkan oleh masyarakat.
Analisis Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKMUI menyatakan bahwa kerugian ekonomi akibat TB dapat juga dilihat dari 4 aspek, yaitu:
1. Health consumption effect, yaitu kerugian dalam bentuk mengurangi konsumsi barang/jasa kesehatan akibat sakit atau meninggal.
2. Social interaction and leisure effects, yaitu kerugian akibat terhambatnya interaksi sosial dan kurangnya waktu luang untuk santai.
3. Short term production effects, baik berupa keluarnya biaya untuk berobat dan hilangnya hari kerja produktif maupun turun atau hilangnya kesempatan mengurus keluarga dan rumah tangga secara baik.
4. Long term production consumption effect dalam bentuk efek demografis konsumsi serta suplai tenaga kerja.
Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis paru bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi. Dengan demikian tuberkulosis paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya perang terhadap penyakit tuberkulosis paru berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidak produktifan dan kelemahan akibat tuberkulosis. Membiarkan TB di satu negara sama saja dengan membiarkan kemiskinan merajalela di negara itu.
Namun walaupun demikian, TB bukan penyakit mematikan dan dapat disembuhkan. Disini diperlukan kepatuhan dan keinginan dari penderitanya sendiri untuk sembuh. Dan hal ini merupakan syarat yang harus dimiliki oleh pasien TB untuk mendukung proses penyembuhan. Selain itu, penderita TB angan samapi putus berobat, untuk meminimalkan angka putus berobat, diperlukan upaya untuk menjamin agar program pengobatan penderita TB dapat berlangsung maksimal. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan dukungan dan bantuan secara penuh kepada penderita TB, sejak pertama kali melakukan pengobatan hingga sembuh.
Penanganan TB membutuhkan dukungan dari berbagai sektor. Upaya yang dapat dilakukan bersama dalam memperkecil masalah TB, adalah dengan berperan aktif menjamin program pengobatan penderita TB dan menekan faktor yang mempengaruhi kegagalan dalam pengoabatan tersebut.
DOTS adalah strategi kesehatan
Sebenarnya bila pemerintah mau menyisakan dana yang cukup, maka kendati rasanya sekarang keluar devisa yang besar di masa datang akan ada penghematan akibat TB yang terkendali. WHO menyatakan bahwa program pengobatan TB di Indonesia punya benefit cost ratio 55 : 1. Artinya, setiap 1 US$ yang dihabiskan oleh suatu negara untuk program pengobatan TB akan memberi manfaat 55 US$ ke Indonesia dalam 20 tahun mendatang. Data lain dari Thailand menyebutkan bahwa implementasi program DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) akan dapat menghemat devisa negara itu sebesar 2,3 milyar US$ dalam 20 tahun mendatang. Hal itu sejalan dengan pendapat Bank Dunia yang menyatakan bahwa DOTS adalah salah satu strategi kesehatan yang amat cost effective. Untuk menangani TB penyakit dan dampak kemiskinannya diperlukan komitmen politik yang kuat, dengan didukung peran serta masyarakat luas, tentunya termasuk kalangan kesehatan.
Strategi yang direkomendasikan untuk mengendalikan TB (DOTS = Directly Observed Treatment Shortcourse) terdiri dari 5 komponen yaitu komitmen pemerintah untuk mempertahankan control terhadap TB; deteksi kasus TB di antara orang-orang yang memiliki gejala-gejala melalui pemeriksaan dahak; pengobatan teratur selama 6-8 bulan yang diawasi; persediaan obat TB yang rutin dan tidak terputus; dan sistem laporan untuk monitoring dan evaluasi perkembangan pengobatan dan program.
Selain itu, rencana global penanggulangan TB didukung oleh 6 komponen dari Strategi Penanggulangan TB baru yang dikembangkan WHO, yaitu mengejar peningkatan dan perluasan DOTS yang berkualitas tinggi, menangani kasus ko-infeksi TB-HIV, kekebalan ganda terhadap obat anti TB dan tantangan lainnya, berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan, menyamakan persepsi semua penyedia pelayanan, memberdayakan pasien TB dan masyarakat serta mewujudkan dan mempromosikan penelitian
DOTS sangat penting untuk penanggulangan TB selama lebih dari satu dekade, dan tetap menjadi komponen utama dalam strategi penanggulangan TB yang terus diperluas, termasuk pengelolaan kasus kekebalan obat anti TB, TB terkait HIV, penguatan sistem kesehatan, keterlibatan seluruh penyedia layanan kesehatan dan masyarakat, serta promosi penelitian.
Tulisan ini di ikut sertakan dalam Lomba Blog #SembuhkanTB
Sumber Referensi :
http://twitter.com/TBIndonesia
http://pkmtanjungpalasutara.blogspot.com