Sampingan

Dalam kurun sejarah manusia perang melawan penyakit tuberkulosis paru seperti tidak ada putus-putusnya. Ribuan tahun silam seperti ditunjukan oleh tulang-tulang peninggalan masa pra sejarah di Jerman (8000 SM), Tuberkulosis paru diketahui sudah menyerang penduduk pada zamannya. Dari fosil yang digali dari sisa-sisa peradapan Mesir kuno, juga terdapat bukti-bukti bahwa 2,500-1000 tahun SM penyakit ini sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat. Dari berbagai catatan dunia banyak raja-raja dan tokoh-tokoh terkenal seperti Raja Henry VII, Goethe, Rousseau, Chopin diketahui meninggal karena penyakit Tuberkulosis Paru (Chanda 2005). Di Indonesia situs berupa relief Candi Borobudur sudah mengenal adanya penyakit ini, mungkin saja ada beberapa raja Indonesia yang menderita Tuberkulosis Paru, namun belum terdapat catatan resmi tentang hal ini.

Perjalanan alamiah Tuberkulosis
Sebagian besar infeksi pada manusia menyebabkan infeksi laten yang asimptomatik, tetapi 1 dari 10 infeksi laten akhirnya akan berkembang menjadi penyakit Tuberkulosis. Tanpa pengobatan setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi dan 25% sebagai kasus kronis yang tetap menular (WHO, 1996)

Indonesia adalah peringkat IV beban TB di dunia
Tuberkulosis  adalah penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat hingga kini, juga salah satu penyakit menular yang menjadi perhatian dunia. Sampai saat ini tidak ada satu negarapun di dunia yang telah bebas TB.

Angka kematian akibat TB di dunia mencapai 1,3 juta jiwa per tahun, 410.000 pada wanita dan 74.000 pada anak-anak. Sebanyak 1,1 juta Orang dengan HIV menderita TB atau 13%, dengan kematian sekitar 320.000 jiwa. Untuk kasus TB resistan obat dari 450.000 kasus, 170.000 meninggal akibat penyakit ini.

Termasuk di Indonesia penyakit Tuberkulosis masih menjadi ancaman bagi Indonesia. Bagaimana tidak, pada tahun 2014 ini Indonesia menduduki peringkat ke empat dengan beban terbesar Tuberkulosis di dunia, setelah India, Cina dan Afrika Selatan.

 

beban TB

(sumber : twitter #SembuhkanTB @TBIndonesia)

Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2014, angka kejadian TB di Indonesia setiap tahunnya mencapai 730 ribu kasus. Sungguh angka yang pantastis di tambah dengan angka kematian akibat TB yang cukup tinggi, setiap tahunnya terdapat 67.000 kasus meninggal akibat TB, atau sekitar 186 orang tiap hari, atau 8 orang setiap jam meninggal dunia akibat penyakit TB. Dan angka kejadian TB di Indonesia ini menyumbang sekitar 5,8% kasus TB dari total jumlah kasus TB di dunia.

TB adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan peringkat 3 dalam daftar 10 penyakit pembunuh tertinggi di Indonesia (SKRT 2004). Selain itu pada usia 5 tahun ke atas, TB merupakan penyebab kematian nomor 4 di perkotaan setelah stroke, Diabetes dan hipertensi dan nomor 2 dipedesaan setelah stroke (Riskesdas 2007).

Menurut Prof. Tjandra Yoga, sedikitnya ada 3 faktor yang menyebabkan tingginya kasus TB di Indonesia. Waktu pengobatan TB yang relatif lama (6 8 bulan) menjadi penyebab penderita TB sulit sembuh karena pasien TB berhenti berobat (drop) setelah merasa sehat meski proses pengobatan belum selesai. Selain itu, masalah TB diperberat dengan adanya peningkatan infeksi HIV/AIDS yang berkembang cepat dan munculnya permasalahan TB-MDR (Multi Drugs Resistant=kebal terhadap bermacam obat). Masalah lain adalah adanya penderita TB laten, dimana penderita tidak sakit namun akibat daya tahan tubuh menurun, penyakit TB akan muncul.

Tingginya angka putus berobat dan rendahnya penemuan penderita TB, disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah akibat kemiskinan. Sebagian besar penderita TB pada umumnya miskin (75%), sehingga tidak mampu datang ke pelayanan kesehatan untuk berobat atau sekedar mengambil obat. Seringkali ditemukan, penderita TB datang sudah pada tahap berat, sehingga membutuhkan penanganan lebih serius bahkan tidak dapat tertolong. Permasalahan lain, umumnya pengetahuan penderita tentang TB masih sangat kurang, sehingga banyak penderita tidak melakukan pengobatan secara optimal, karena merasa sudah sembuh bila gejala sakit sudah tidak tampak. Padahal dibutuhkan bukti medis, untuk menyatakan kesembuhan penderita TBC.

Beberapa faktor dibawah ini turut berkontribusi meningkatkan kasus Tuberkulosis:
• Munculnya epidemi HIV
• Peningkatan migrasi penduduk
• Munculnya kasus TB-MDR (kebal OAT)
• Infrastruktur kesehatan dan terbatasnya alokasi sumber daya
• Masalah ekonomi sosial terutama terkait kemiskinan

Penyakit dan kemiskinan seperti viciouscycles
Masalah kesehatan masyarakat memang tidak dapat dipisahkan dari masalah kemiskinan. Setidaknya sekitar 1,3 milyar penduduk dunia adalah orang miskin. Hubungan penyakit dan kemiskinan dapat seperti viciouscycles. Karena miskin, orang jadi kurang gizi, tinggal di tempat yang tidak sehat, dan tidak dapat melakukan pemeliharaan kesehatan dengan baik, penurunan daya tahan tubuh sehingga rentan tertular dan sakit TB. Akibatnya, si miskin akan jatuh sakit. Karena sakit maka dia terpaksa berobat. Biaya pengobatan itu cukup mahal, akibatnya si miskin akan makin miskin lagi, sehingga berhenti berobat, makin parah demikian seterusnya. Begitu sebaliknya orang terkena TB akan mengurangi pendapatannya. Dan, penyakit TB pun mengakibatkan dampak ekonomi pada penderitanya. Salah satu dampak ialah, 75 persen pasien TB harus mengambil pinjaman atau berhutang untuk biaya pengobatan dan biaya sehari-hari. Beban penderita tuberkulosis menjadi semakin besar, akibat kehilangan pekerjaan, waktu dan kesempatan mencari nafkah.

cool-cartoon-tb1

Based True Story

Ini adalah pengalaman saya sebagai tenaga kesehatan, suatu hari ketika saya hendak pulang kerja, saya diminta oleh seorang ibu datang kerumahnya untuk menyuntikkan obat TB, karena anaknya menderita TB dan obatnya yang disuntik. Kebetulan hari itu hari minggu, jadi Puskemas tutup, biasanya anaknya disuntik ke Puskesmas. Karena saya hendak pulang bareng teman, saya pun mengajak teman ke rumah ibu tersebut. Saya bersama teman menuju rumah ibu tersebut. Saya cukup tahu kalau rumah dimana ibu tersebut tinggal lumayan padat dan kumuh, meskipun saya tidak sepenuhnya mengetahui sejauhmana keadaan rumahnya. Saya sendiri sebenarnya belum pernah datang ke rumah pasien untuk melakukan home care, berbeda dengan teman saya, dia sering melakukan home care entah untuk menyuntik yang penderita TB, ganti balutan, ataupuntindakan lainnya.

Saya bersama teman menuju rumah ibu tersebut cukup jauh juga terutama harus masuk gang sempit dan sungai kecil kecil yang kotor dan bau. Dan alangkah terkejutnya saya ketika sampai dirumah ibu tersebut, rumah yang sangat kecil, tanpa ventilasi juga kurang bersih. Bagaimana tidak kena TB anggota keluarga tersebut, rumah dihuni oleh ibu, suaminya, dan juga anaknya seorang laki-laki usia remaja yang menderita TB. Rumah yang hanya terdiri dari ruang tengah merangkap kamar dan dapur. Keadaan yang sangat memprihatinkan, anaknya yang menderita TB teraksa harus berhenti bekerja karena kena TB, sementara suami ibu yang hanya pekerja buruh harus menghidupi keluarga tersebut.  Dan dilihat dari keadaan postur tubuhnya pun berat badan mereka bisa dikategorikan kurang.  Saya dan teman menolak ketika ibu memberikan imbalan jasa melakukan suntik. Bagaimana saya dan teman tega menerima imbalan tersebut sementara keadaan keluarga tersebut sangat memprihatinkan. Saya dan teman pun memberikan pendidikan kesehatan kepada ibu dan anaknya supaya pengobatan jangan sampai berhenti, tetap menjaga kebersihan dan makan makanan yang bergizi untuk mempercepat proses penyembuhan dan mencegah penularan. Supaya penderita TB tidak bertambah dalam keluarganya.

Penderita TB lebih banyak laki-laki dan usia produktif

Tuberkulosis memiliki dampak yang signifikan terhadap pembangunan ekonomi: lebih dari 75% penyakit Tuberkulosis.
Dan yang lebih memprihatinkan adalah sebagian besar penderita TB di Indonesia mereka masih berusia produktif yaitu usia antara 15-55 tahun. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita. Hal ini bisa dipahami karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru dimana kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Hal ini lah yang mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap perekonomian dalam keluarga. Dimana laki-laki adalah pencari nafkah utama dan yang bertanggung jawab terhadap ekonomi keluarga. Terlebih menderita TB pada usia yang masih produktif.

Menurut WHO, seseorang yang menderita TB diperkirakan akan kehilangan pendapatan rumah tangganya sekitar 3-4 bulan.  Dan berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Hal ini karena biaya penyembuhan TB yang memerlukan biaya yang cukup besar dan juga rentang waktu pengobatannya yang cukup lama yakni sekitar 6-8 bulan. Dalam masa penyembuhan inilah munculnya masalah ekonomi. Hal ini karena beban biaya pengobatan cukup panjang sehingga mengakibatkan pendapatan jadi berkurang karena tidak produktif, dan juga pengeluaran semakin bertambah karena harus mengeluarkan biaya pengobatan. Dan bila penderita TB meninggal, terlebih penderitanya adalah kepala keluarga, maka akan kehilangan pendapatan rumah tangganya sekitar 15 tahun. Ini merupakan beban besar buat penderita dan keluarganya. Tuberkulosis paru juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial bahkan kadang dikucilkan oleh masyarakat.

Analisis Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan FKMUI menyatakan bahwa kerugian ekonomi akibat TB dapat juga dilihat dari 4 aspek, yaitu:
1. Health consumption effect, yaitu kerugian dalam bentuk mengurangi konsumsi barang/jasa kesehatan akibat sakit atau meninggal.
2. Social interaction and leisure effects, yaitu kerugian akibat terhambatnya interaksi sosial dan kurangnya waktu luang untuk santai.
3. Short term production effects, baik berupa keluarnya biaya untuk berobat dan hilangnya hari kerja produktif maupun turun atau hilangnya kesempatan mengurus keluarga dan rumah tangga secara baik.
4. Long term production consumption effect dalam bentuk efek demografis konsumsi serta suplai tenaga kerja.

Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit tuberkulosis paru bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi. Dengan demikian tuberkulosis paru merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Karenanya perang terhadap penyakit tuberkulosis paru berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidak produktifan dan kelemahan akibat tuberkulosis. Membiarkan TB di satu negara sama saja dengan membiarkan kemiskinan merajalela di negara itu.

cool-cartoon-TB

 

Namun walaupun demikian, TB bukan penyakit mematikan dan dapat disembuhkan. Disini diperlukan kepatuhan dan keinginan dari penderitanya sendiri untuk sembuh. Dan hal ini merupakan syarat yang harus dimiliki oleh pasien TB untuk mendukung proses penyembuhan. Selain itu, penderita TB angan samapi putus berobat, untuk meminimalkan angka putus berobat, diperlukan upaya untuk menjamin agar program pengobatan penderita TB dapat berlangsung maksimal. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan dukungan dan bantuan secara penuh kepada penderita TB, sejak pertama kali melakukan pengobatan hingga sembuh.
Penanganan TB  membutuhkan dukungan dari berbagai sektor. Upaya yang dapat dilakukan bersama dalam memperkecil masalah TB, adalah dengan berperan aktif menjamin program pengobatan penderita TB dan menekan faktor yang mempengaruhi kegagalan dalam pengoabatan tersebut.

DOTS adalah strategi kesehatan
Sebenarnya bila pemerintah mau menyisakan dana yang cukup, maka kendati rasanya sekarang keluar devisa yang besar di masa datang akan ada penghematan akibat TB yang terkendali. WHO menyatakan bahwa program pengobatan TB di Indonesia punya benefit cost ratio 55 : 1. Artinya, setiap 1 US$ yang dihabiskan oleh suatu negara untuk program pengobatan TB akan memberi manfaat 55 US$ ke Indonesia dalam 20 tahun mendatang. Data lain dari Thailand menyebutkan bahwa implementasi program DOTS (Directly Observed Treatment Short Course) akan dapat menghemat devisa negara itu sebesar 2,3 milyar US$ dalam 20 tahun mendatang. Hal itu sejalan dengan pendapat Bank Dunia yang menyatakan bahwa DOTS adalah salah satu strategi kesehatan yang amat cost effective. Untuk menangani TB penyakit dan dampak kemiskinannya diperlukan komitmen politik yang kuat, dengan didukung peran serta masyarakat luas, tentunya termasuk kalangan kesehatan.

Strategi yang direkomendasikan untuk mengendalikan TB (DOTS = Directly Observed Treatment Shortcourse) terdiri dari 5 komponen yaitu komitmen pemerintah untuk mempertahankan control terhadap TB; deteksi kasus TB di antara orang-orang yang memiliki gejala-gejala melalui pemeriksaan dahak; pengobatan teratur selama 6-8 bulan yang diawasi; persediaan obat TB yang rutin dan tidak terputus; dan sistem laporan untuk monitoring dan evaluasi perkembangan pengobatan dan program.

Selain itu, rencana global penanggulangan TB didukung oleh 6 komponen dari Strategi Penanggulangan TB baru yang dikembangkan WHO, yaitu mengejar peningkatan dan perluasan DOTS yang berkualitas tinggi, menangani kasus ko-infeksi TB-HIV, kekebalan ganda terhadap obat anti TB dan tantangan lainnya, berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan, menyamakan persepsi semua penyedia pelayanan, memberdayakan pasien TB dan masyarakat serta mewujudkan dan mempromosikan penelitian

DOTS sangat penting untuk penanggulangan TB selama lebih dari satu dekade, dan tetap menjadi komponen utama dalam strategi penanggulangan TB yang terus diperluas, termasuk pengelolaan kasus kekebalan obat anti TB, TB terkait HIV, penguatan sistem kesehatan, keterlibatan seluruh penyedia layanan kesehatan dan masyarakat, serta promosi penelitian.

Tulisan ini di ikut sertakan dalam Lomba Blog #SembuhkanTB

banner lomba tb

Sumber Referensi :

www.tbindonesia.or.id

www.depkes.go.id

www.stoptbindonesia.org

http://health.kompas.com

http://twitter.com/TBIndonesia

http://blog.tbindonesia.or.id

http://pkmtanjungpalasutara.blogspot.com

Beban Ekonomi Dan Kematian Akibat TB

By Diary Sehat Dikirimkan di health

Mari Kita Cegah Ko-Infeksi TB-HIV

TB dan HIV dua dari sekian jenis penyakit menular yang sudah tidak asing lagi di masyarakat. Tapi apakah semua masyarakat sudah cukup paham jika dua penyakit ini mempunyai hubungan yang cukup erat dan bisa dikatakan persekutuan yang berbahaya. Dimana HIV itu meningkatkan resiko terjadinya TB secara signifikan. Peran serta dari tenaga kesehatan supaya masyarakat lebih memahaminya sangat diperlukan. Sehingga nantinya setelah masyarakat cukup paham bisa berpartisipasi dalam upaya penanggulangan kedua penyakit tersebut.

Indonesia sudah berada pada arah yang tepat dalam pelaksanaan program penanggulangan Tuberkulosis (TB), dibuktikan dengan telah dicapainya target global sejak tahun 2006 yaitu penemuan kasus baru >70% dan angka kesembuhan >85%. Namun TB merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Besar dan luasnya masalah TB di Indonesia diperberat dengan adanya peningkatan infeksi HIV/AIDS yang berkembang cepat dan munculnya permasalahan TB-MDR (Multi Drugs Resistant=kebal terhadap bermacam obat).

Seperti kita ketahui bahwa penyakit Tuberkulosis (TB) telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besar selama berabad-abad. Pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat yang efektif untuk pencegahan dan pengendalian TB secara bermakna telah banyak menurunkan beban penyakit secara global. Dengan munculnya epidemi HIV merupakan tantangan besar dalam upaya pengendalian TB secara global. Peningkatan prevalensi HIV di Regional Asia Tenggara yang 40 persen dari populasinya telah terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis (MTB), jika tidak segera ditanggulangi dapat mengancam upaya pengendalian TB.

(sumber: writingcompetition.blogspot.com)

(sumber: writingcompetition.blogspot.com)

Apa pengertian dari  Ko-Infeksi TB-HIV itu?

Pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan TB. Ko-infeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB secara signifikan. Di samping itu TB merupakan penyebab utama kematian pada ODHA (sekitar 40-50%). Kematian yang tinggi ini terutama pada TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru yang kemungkinan besar disebabkan keterlambatan diagnosis dan terapiTB . Sebagian besar orang yang terinfeksi kuman TB (Mycobacterium tuberculosis) tidak menjadi sakit TB karena mereka mempunyai sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun, pada orang-orang yang sistem imunitasnya menurun misalnya ODHA maka infeksi TB laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif. Hanya sekitar 10% orang yang tidak terinfeksi HIV bila terinfeksi kuman TB maka akan menjadi sakit TB sepanjang hidupnya; sedangkan pada ODHA, sekitar 60% ODHA yang terinfeksi kuman TB akan menjadi sakit TB aktif. Dengan demikian, mudah dimengerti bahwa epidemi HIV tentunya akan menyulut peningkatan jumlah kasus TB dalam masyarakat.

Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Berdasarkan perkiraan WHO, jumlah pasien ko-infeksi TB-HIV di dunia diperkirakan ada sebanyak 14 juta orang. Sekitar 80% pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut dijumpai di Sub-Sahara Afrika, namun ada sekitar 3 juta pasien ko-infeksi TB-HIV tersebut terdapat di Asia Tenggara. Dari uraian tersebut diatas, jelas bahwa epidemi HIV sangatlah berpengaruh pada meningkatnya kasus TB. Jadi, pengendalian TB tidak akan berhasil dengan baik tanpa keberhasilan pengendalian HIV. Hal ini berarti bahwa upaya-upaya pencegahan HIV dan perawatan HIV haruslah juga merupakan kegiatan prioritas bagi pengelola program TB.

 

Faktor Resiko Kejadian TB

Faktor Resiko Kejadian TB

 

 

TB dan HIV adalah persekutuan yang berbahaya ?

Seperti telah di singgung di atas, bahwa Pasien TB dengan HIV positif dan ODHA dengan TB disebut sebagai pasien ko-infeksi TB-HIV. Jadi bisa disimpulkan kedua penyakit ini merupakan persekutuan yang cukup berbahaya. Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV terjadi.  Dan resiko berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya sistem kekebalan tubuh. Dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi HIV maka orang yang terinfeksi HIV berisiko 10 kali lebih besar untuk mendapatkan TB. Notifikasi TB telah meningkat pada populasi di mana infeksi HIV dan M.tuberculosis merupakan hal yang biasa. Seroprevalensi HIV pada TB pasien ini di atas 70%. Ketika infeksi HIV berkembang maka jumlah dan fungsi limfosit-T CD4+ menurun. Sel-sel ini mempunyai peran yang penting untuk melawan kuman TB. Dengan demikian, sistem kekebalan tubuh menjadi kurang mampu untuk mencegah perkembangan dan penyebaran lokal kuman ini. Tuberkulosis ekstraparu dan diseminata (meluas) menjadi lebih lazim ditemukan. Tuberkulosis paru masih merupakan penyakit yang paling sering ditemukan pada orang yang terinfeksi HIV. Gambaran klinisnya tergantung tingkat kekebalan tubuh. Pada individu yang terinfeksi HIV, terdapatnya infeksi lain termasuk TB dapat membuat virus HIV berkembang biak dengan lebih cepat sehingga progresivitas penyakit menjadi lebih cepat.

Secara umum tantangan utama kolaborasi TB-HIV diantaranya :

  1. Meningkatkan jejaring layanan kolaborasi antara program TB dan program HIV.
  2. Meningkatkan akses tes HIV atas inisiasi petugas kesehatannyang ditujukan bagi pasien TB.
  3. Memastikan bahwa pasien yang terdiagnosa TB dan HIV harus mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal untuk TB dan secara cepat harus di rujuk untuk mendapatkan dukungan dan pengobatan HIV AIDS.
  4. Memastikan pendekatan pelayanan kesehatan pada pasien TB-HIV.
  5. Monitoring dan evaluasi kegiatankolaborasi TB-HIV.
  6. Ekspansi ke seluruh pelayanan kesehatan di Indonesia

Adapun hal-hal yang dilakukan untuk menurunkan beban TB pada ODHA diantranya :

  • Intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA

Kegiatan intensifikasi penemuan kasus TB pada ODHA yang dimulai dengan penerapan skrining gejala dan tanda TB pada ODHA telah dijalankan secara rutin di klinik Konseling dan tes HIV secara sukarela (KTS) dan PDP di beberapa RS rujukan ARV dan Puskesmas dengan menggunakan formulir skrining TB. Dari 18 provinsi yang telah melaporkan data TB-HIV pada tahun 2011, ditemukan bahwa sebanyak 63% ODHA telah diskrining untuk gejala dan tanda TB ; 9,2% di antaranya didiagnosis TB. Untuk menjamin penegakan diagnosis TB yang berkualitas pada ODHA dengan suspek TB telah dibangun jejaring antara unit KTS/PDP dengan unit DOTS. Beberapa unit KTS/PDP sudah dapat memulai dan atau meneruskan pengobatan TB termasuk mengisi dan melengkapi formulir TB .01.

  • Pengobatan pencegahan dengan INH

Kebijakan nasional kolaborasi TB-HIV belum memasukkan pemberian Isoniazid preventive therapy (IPT) pada ODHA sebagai standar layanan rutin sehingga belum ada praktek pemberian IPT pada ODHA yang dilaporkan. Tetapi mulai bulan Mei 2012 telah dilaksanakan kegiatan pendahuluan pemberian INH profilaksis untuk ODHA di 2 Provinsi (Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat), 4 RS (RS Persahabatan, RS Cipto Mangunkusumo, RS Hasan Sadikin dan RS Marzuki Mahdi). Penerapan pengendalian infeksi TB di unit KTS/PDP dilakukan melalui penguatan tim pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) RS melalui pelatihan petugas yang diselenggarakan dengan kerjasama antara Subdit TB dengan Subdit RS Khusus Ditjen Bina Upaya Kesehatan Spesialistik dan Perdalin.

  • Memastikan pencegahan dan pengendalian (PPI) TB di layanan HIV

Sedangkan Pengendalian Infeksi di Puskesmas dan Lapas/Rutan dimulai dengan melakukan assessment dan sosialisasi di 7 provinsi bekerja sama dengan Subdit Institusi Ditjen Bina Upaya Kesehatan Dasar dan Ditjen Pemasyarakatan. Pemasangan poster cara menutup mulut dan hidung pada waktu batuk/bersin dan penyediaan masker untuk klien dan ODHA yang mempunyai gejala batuk sudah diimplementasikan di beberapa fasilitas pelayanan kesehatan.

Sedangkan hal-hal yang dilakukan untuk menurunkan beban HIV-AIDS pada pasien TB adalah :

  • Menyediakan layanan tes HIV pada pasien TB dan konseling

Walaupun berdasarkan kebijakan nasional pelaksanaan kolaborasi TB-HIV, konseling dan tes HIV dilakukan pada semua pasien TB di daerah epidemi HIV meluas tetapi data dari Provinsi Papua menunjukkan baru sekitar 22% pasien TB yang dikonseling dan tes HIV. Sedangkan di daerah dengan epidemi terkonsentrasi, konseling dan tes HIV yang dilakukan pada pasien TB dengan faktor risiko HIV bervariasi antar wilayah antara 0,1 – 6%. Provider Initiated Testing and Counselling (PITC) atau konseling dan tes HIV atas inisiasi petugas kesehatan (KTIPK) baru diterapkan di beberapa RS, BBKPM/BKPM dan puskesmas di Provinsi Papua, DKI Jakarta dan Jawa Timur, dimulai dengan pelatihan pada pertengahan tahun 2010.

  • Pencegahan HIV dan IMS.

Pemberian KIE (Komunikasi Informasi Edukasi) pencegahan HIV dan IMS kepada pasien TB dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan dengan menggunakan media KIE yang telah disediakan. Penyediaan kondom di unit TB masih belum dapat diterapkan

  • Pengobatan preventif dengan kotrimoksasol (PPK) dan IO lainnya. Perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) ARV untuk HIV/AIDS.

Cakupan pemberian PPK pada pasien ko-infeksi TB-HIV baru sekitar 63% dan sebanyak 29% mendapatkan ARV.

Sumber referensi :

www.tbindonesia.or.id

www.depkes.go.id

www.spiritia.or.id

 

By Diary Sehat Dikirimkan di health
Sampingan

Siaga Terhadap Demam Berdarah

Demam berdarah merupakan masalah kesehatan di dunia, tak terkecuali di Indonesia. penyakit yang cukup sering terjadi terjadi di usia anak-anak dan dewasa. Angka kejadian demam berdarah di Indonesia cukup tinggi. Bahkan Indonesia menduduki peringkat kedua penderita demam berdarah setelah Brazil. Data kementrian kesehatan 2009-2011 pun menunjukkan jumlah rata-rata kasus akibat virus dengue di Indonesia mencapai angka kematiann 1.125 kasus. Sekaligus menempatkan Indonesia sebagai Negara tertinggi dalam kasus penyakit dengue di Asia Tenggara.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkasifikasikan dengue sebagai infeksi virus yang ditularkan oleh nyamuk yang mmenyebabkan penyakit seperti flu yang parah dan kadang-kadang komplikasi yang berpotensi mematikan yang disebut demam berdarah. Data dari pusat pengendalian dan pencegahan penyakit Amerika Serikat melaporkan transmisi penyakit demam berdarah didaratan Amerika Serikat sebagian besar karena perjalanan ke daerah-daerah subtropics dan tropis. Data dari WHO menunjukkan angka kejadian demam berdarah meningkat 30 kali lipat selama lebih dari 50 tahun. Menuurut data statistic terbaru dari Orgaisasi Kesehatan Dunia(WHO) 50-100 juta infeksi diperkirakan terjadi setiap tahun dilebih dari 100 negara endemic, menempatkan hampir setengah populasi dunia beresiko untuk tertular.
Demam berdarah umumnya ditandai demam tinggi mendadak, sakit kepala yang hebat, rasa sakit dibelakang mata,otot dan sendi. hilangnya nafsu makan, mual-mual dan ruam. Gejala pada anak dapat berupa demam ringan disertai ruam. Pada demam berdarah yang lebih parah ditandai dengan demam tinggi selama dua sampaitujuh hari. Berikutnya dapat muncul kecenderungan perdarahan seperti memar, hidung dan gusi berdarah, dan juga perdarahan dalam tubuh. pada kasus yang sangat parah mungkin berlanjut pada kegagalan saluran pernafasan, shock dan kematian.
Kasus demam berdarah hampir dengue selalu mencuat dimusim penghujan. Lingkungan alam yang tropis, sanitasi dan kebersihan yang buruk, serta rendahnya kesadaran masyarakat, menjadi alasan utama maraknya kejadaian demam berdarah disetiap tahunnya. Belum adanya obat-obatan untuk penyakit demam berdarah merupakan alasan juga mengapa kasus demam berdarah belum dapat diatasi.
Penyakit demam berdarah merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, yang kemudian ditularkan kepada manusia melalui nyamuk aedes aegifty. Nyamuk ini pada umunya bersarang pada di daerah-daerah yang memiliki genangan air kemudain melapaskan telurnya di genangan air tersebut. Pada umumnya nyamuk ini menggigit pada pagi hari. Cir-ciri morfologis nyamuk ini adalah memiliki garis hitam dan putih pada bagian tubuhnya. Saat ini kasus demam berdarah di Indonesia bermunculan dan dapat menajdi ancaman serius jika tidak mendapat respon yang cepat serta antisipasi yang lebih dari masyarakat. Masa penghujan merupakan masa yang baik untuk berkembang biaknya nyamuk ini karena secara siklusnya masa inkubasi nyamuk ini hanya dua minggu. Hal yang palin fatal ketika penanganan terlambat adalah kematian.
Bertindak cepat dan siaga untuk wabah demam berdarah adalah tindakan yang tepat. Terlebih ketika di musim hujan tiba masyarakat sebaiknya bertindak cepat dan siaga menghadapi penyakit demam berdarah ini. Karena sekali wabah ini menyebar maka angka penderita demam berdarah akan terus meningkat dan dapat menyebabkan status kejadian luar biasa.
Hingga saat ini di upaya pencegahan masih terfokus pada upaya terhindar dari gigitan nyamuk dan pemberantasan sarang nyamuk, seperti pengasapan (fogging), larvasida (pemberantasan jentik nyamuk) dan penggunaan obat anti nyamuk secara individual.
Kita juga dapat menerapkan langkah 3M yaitu; menguras bak kamar mandi, menutup penampungan sampah, dan mengubur barang-barang yang sekiranya dapat menjadi genangan air, dimana nantinya dikhawatirkan akan menyebabkan berkembangbiaknya larva nyamuk ini. Menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan juga merupakan usaha pencegahan penyakit ini. Dan begitu ada penderita atau korban yang mengalami gejala demam berdarah segera bawa ke rumah sakit agar mendapat pertolongan segera dan tepat.
Bagi pemerintah sendiri dengan bersiap siaga terhadap wabah demam berdarah menjadi tindakan yang tepat dan cepat, gunamenekan angka kematian akibat penyakit demam berdarah. Pemerintah melalui dinas-dinas kesehatan dapat melakukan sosialisasi terhadap masyarakat awam mengenai gejala penyakit demam berdarah melaluipenyuluhan-penyulahan, iklan dimedia televise ataupun lewat social media, selain itu diharapkan dinas-dinas kesehatan melakukan fogging secara berkaladi daerah-daerah yang disinyalir menjadi aerah endemis wabah demam berdarah.

pencegahan DBD

contoh pencegahan demam berdarah

Selain itu yang tak kalah penting adalah melaksanakan perilaku hidup sehat, terutama peduli terhadap kesehatan lingkungan. Semua ini menjadi tanggung jawab yang harus dijalankan secara bersinergi anatara individu, komponen masyarakat agar upaya pencegahan demam berdarah dapat terwujud lebih optimal di Indonesia.

Siaga Demam Berdarah

By Diary Sehat Dikirimkan di health